Penulis menyambut gembira untuk menulis tema ini. Tema nasionalisme menjadi tema penting di tengah mulai memudarnya nilai-nilai nasionalisme pada bangsa ini. Ciri dari memudarnya nilai nasionalisme adalah orientasi upaya persatuan nasional yang melemah.
Politik identitas menjadi dominan di panggung wacana nasional. Konflik berbasis pada fanatisme dan pendangkalan agama terjadi dimana-mana. Atas nama klaim kebenaran agama yang dimiliki dan memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain adalah bagian dari penguatan politik identitas berbasis agama. Kekerasan atas nama agama lalu menjadi sah untuk di lakukan tanpa berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.Gerakan semangat keagamaan yang bermodel politik identitas ini sejak era reformasi mulai mengambil alih masjid-masjid basis umat Islam baik NU maupun golongan yang lain. Di sisi yang lain persoalan membelit bangsa ini adalah pengambil alihan lahan milik rakyat Indonesia atas nama ekspansi industri baik industr ekstraktif atau pertambangan seperti lumpur Lapindo maupun industri yang lain. Jadi tantangan ekspansif warga nahdliyin adalah, di satu sisi ada kelompok yang beroperasi mengambil alih akidah melalui penguasaan masjid, dan di sisi yang lain ada kelompok yang beroperasi meminggirkan warga nahdliyin melalui penguasaan tanah untuk ekspansi modal seperti kasus-kasus yang terjadi di beberapa daerah. Warga pemilik tanah pun ‘dipaksa’ menjual tanahnya kepada korporasi.
Tantangan yang lain adalah warga NU di pelosok dan pedesaan yang masih terbelit kemiskinan dan keterbelakangan. Pendapatan warga NU < 1 juta/bulan mencapai angka 80 persen (LSI : 2010). Tantangan inilah yang nyata dihadapi oleh warga nahdliyin saat ini. Warga NU merupakan mayoritas mencapai 81,4 persen dari total umat Islam di Indonesia.
Pertanyaannya bagi kita adalah, bagaimana kita belajar mengatasi persoalan bercermin dari langkah nasionalisme santri dari seorang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ?
Sosok Gus Dur merupakan sumber inspirasi bagi kaum santri untuk bergerak membangun bangsa ini. Penerimaan NU terhadap Pancasila merupakan ciri utama nasionalisme Gus Dur. Bagi NU , Pancasila adalah final sebagai idelogi negara yang berwatak tengah yang menerima semoa golongan untuk hidup rukun dalam indahnya perbedaan. NU tidak mudah menerima begitu saja asas Pancasila sebagai dasar Negara dan ini melalui Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Situbondo, 21 Desember 1983 (Abdurrahman Wahid : 1996).
Puncak kiprah perjuangan Gus Dur terhadap pengawalan Pancasila adalah saat ia menjabat sebagai seorang Presiden. Terkait hubungan Islam dan Pancasila, Gus Dur menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dalam keputusan tersebut, Gus Dur merasa bahwa Pancasila harus diperankan dalam pengakuan hak-hak sipil penganut Konghucu, semisal memberi keleluasaan untuk merayakan Imlek dan beribadah sesuai dengan keimanannya.
Gus Dur jelas menimbang dirinya sebagai seorang tokoh Muslim, namun menjalankan prinsip-prinsip bernegara yang menjamin kebebasan beragama adalah suatu keharusan, meskipun harus bertentangan dengan pemerintahan sebelumnya dan satu-dua kelompok Islam yang cenderung menganut dominasi mayoritas (Yoyon Sukron Amin : 2013)
Gus Dur Mengatasi Jebakan Krisis Indonesia : menggunakan pendekatan Geopolitik
Tokoh yang mampu memerankan peran geopolitik internasional adalah Soekarno dan Gus Dur. Begitu Gus Dur menjadi Presiden, yang dilakukan pertama kali adalah men-setting kembali persatuan bangsa Asia–Afrika dan merevitalisasi poros Jakarta-Peking dan Moscow. Kemudian Gus Dur pergi ke Venezuela, untuk mempelajari konsep nasionalisasi Hugo Cavez.
Gus Dur juga pergi ke Brazil untuk membuka kesempatan bagi impor kedelai Brazil langsung ke Indonesia sebagaimana import dari Amerika. Kemudian dia pergi menemui Clinton, melobi Amerika agar mencabut embargo militernya. Dia ke Cuba untuk mempelajari bagaimana Presiden Fidel Castro membuat program jaminan kesehatan rakyat. Gus Dur juga berangkat ke Palestina untuk mendamaikan konflik Hamas dan Fatah. Ini semua berhasil dilakukan oleh Gus Dur dalam rangka mengurai jebakan dan jeratan kapitalisme international yang menyandra ekonomi Indonesia (www.theglobal-review.com).
Ambon dalam keadaan darurat. Gus Dur tahu ini bukan merupakan konflik agama akan tetapi sebuah pertarungan perebutan sumber daya alam. Para aktornya juga berada di Jakarta. Untuk memecah fokus media yang memperkeruh masalah, Gus Dur membuat statement bahwa ‘Jenderal K’ adalah aktor keributan di Ambon. Media dan politisi bingung. Dan ketika ditanyakan kembali, Gus Dur menjawab pelakunya adalah ‘Jendral Kunyuk’. Ketika Konsentrasi media dan politisi terpecah maka Gus Dur mengutus KH Tolhah Hasan untuk menginvestigasi konflik Ambon. Pada hasil investigasinya ditemukan fakta menarik bahwa logistik konflik Ambon berasal dari Arab. Secara spontan Gus Dur mengontak ‘klik’ yang berada di Arab untuk menstop pendanaan perang. Karena sumber logistik distop, keributan di Ambon pun lerai.
Kerja keras Gus Dur adalah upaya untuk menyatukan Indonesia sebagai satu bangsa. Hal ini juga telah dilakukan oleh Soekarno. Walau kedua tokoh ini sering membuat kontroversi, akan tetapi aksi kedua tokoh ini konsisten dengan kebangsaan Indonesia dalam satu rel, Persatuan Indonesia.
Akar dari nasionalisme Gus Dur yang termanifestasi dalam praksis hidupnya itu mewujud melalui kenyataan bahwa Gus Dur berasal dari akar pesantren. Selain itu, dia paham dan cinta pada sejarah, agama dan bangsa Indonesia dengan kepahaman dan kecintaan yang sangat mendalam. Kedua kenyataan ini membekali Gus Dur untuk mampu menerjemahkan Pancasila dalam laku yang luwes, lentur, dan sekaligus menggambarkan betapa luas spektrum pengetahuan yang beliau baca, hapal dan pahami.
Semoga pemahaman tentang Gus Dur ini bisa membawa inspirasi bagi kita penerus perjuangan Gus Dur.
Oleh : Ubaidillah MA