BOGOR-Lebih 1.000 massa yang mengaku dari Front Pembela Islam (FPI) memadati jalanan menuju kompleks villa Hosana di kawasan Puncak, tempat 83 korban kejahatan HAM 1965-66 mengadakan wisata lokakarya. Lokakarya ini digelar Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan [YPKP] 1965-’66 dan dikemas dalam format wisata.
Ketua YPKP’65 Bedjo Untung menjelaskan tujuan lokakarya ini digelar organisasinya untuk menghadapi pelaksanaan Simposium Nasional seputar rekonsiliasi bagi korban kejahatan HAM yang terjadi pada 1965-1966 silam. Lokakarya dikemas selayaknya wisata mengingat mayoritas korban pelanggaran HAM yang dikoordinir YPKP saat ini telah berusia lanjut.
Simposium yang diinisiasi Kemenpolhukham dan akan digelar pada 18-19 April 2016 di Hotel Arya Duta Jakarta merupakan simposium nasional pertama yang dilakukan pemerintah untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Menyikapi serbuan massa intoleran FPI demikian, Ketua YPKP mengaku tak kaget karena insiden seperti ini bukan untuk yang pertama kali. Namun dalam konteks rekonsiliasi, ia mengaku kecewa pada perilaku intoleransi yang merendahkan martabat dan nilai kemanusiaan.
“Bagaimana berbicara rekonsiliasi jika lokakarya YPKP seperti ini saja dibubarkan”, papar Bedjo Untung.
Namun demikian, pihaknya terpaksa membatalkan pelaksanaan wisata lokakarya. Hal ini ditempuh karena mustahil dapat berfikir positif dan mengkomunikasikan masalah dengan baik, meskipun ada jaminan keamanan dari fihak kepolisian setempat; bahkan dari Kapolres Cianjur Asep yang datang ke lokasi.
Peserta dan Pemilik Villa Diintimidasi
Pengelola Villa “Hosana”, Vera mengaku takut dan khawatir atas ancaman terselubung terhadap dirinya. Terselubung, karena memang intimidasi terhadap pihaknya, paradoks dengan situasi harian kawasan Puncak yang jauh dari keramaian.
Bahkan dari keterangan yang dihimpun dari lokasi lokakarya, cukup menjelaskan bahwa intimidasi seperti ini telah terjadi sejak seminggu sebelumnya. Para korban pelanggaran HAM 65-66 juga diintimidasi oleh aparat militer dan polisi di berbagai daerah. Pengurus YPKP dari daerah seperti Pati, Boyolali, Pemalang, Pekalongan, Banyumas, Cilacap; telah didatangi oknum intelijen, tentara dan polisi di daerah tinggalnya; sebelum para korban ini berangkat ke Jakarta.
“Sejak menerima undangan, kami belum mengerti dimana lokasi lokakarya bakal digelar. Kami hanya mengerti lokasi ngumpul di kantor LBH Jakarta”, ujar utusan YPKP dari Pati.
Hal ini nampak aneh. Bagaimana mungkin, karena para peserta itu belum mengerti lokasi dan tempat lokakarya YPKP, tetapi justru para oknum militer dan polisi di beberapa daerah telah mengetahui tempatnya. Dan ketika agenda wisata lokakarya belum lagi dimulai, ternyata massa FPI mengepung lokasi dan membubarkannya.